Wanginya
menyegarkan, rasanya sedikit pedas, tetapi memberi sensasi hangat di
kerongkongan dan tubuh. Nikmat diminum selagi panas, segar diseruput saat
dingin.
Selama
ini kita mengenal jahe lebih sebagai bumbu masakan dan jamu. Belakangan ini,
minuman kemasan sari jahe bermunculan. Yang tengah marak, beredar pula kopi,
susu, dan teh berpadu dengan jahe. Cara menjualnya pun beragam, dalam bentuk
sachet untuk diracik sendiri, atau disajikan di kafe, warung kopi, hingga pedagang
kaki lima.
Sensasi
jahe sungguh memikat rasa. Tak heran jika khalayak mudah menerima produk
derivatifnya, seperti kopi jahe, susu jahe, teh jahe, bir pletok, hingga
bandrek dan bajigur (minuman khas Jawa Barat). Bahkan, permen jahe dan
ting-ting jahe pun ikut meramaikan pasar.
Efek Hangat
Menurut
Dedy S. Muftie, Managing Director PT Diba Sari Buana, produsen ekstrak jahe,
teh dan kopi jahe di Bekasi, pada tahun 2000 masyarakat masih menganggap jahe
sebagai bumbu. Jahe jarang digunakan untuk minuman, walaupun ada angkringan
yang menjual wedang (minuman) jahe.
“Tahun
2000 itu kita membuat yang namanya kopi jahe. Tadinya ada istilah 3 in 1, kopi, susu, gula. Belum ada
jahenya. Kemudian kami buat ramuan ada jahenya. Empat bahan ini kita jadikan
satu, eh ternyata enak,” kenang Dedy memulai penuturan tentang bisnisnya. Saat
itu minuman jahe produksinya dipasarkan ke daerah pantai utara Jawa. Peminatnya
adalah nelayan yang terbius efek hangatnya. Jadilah minuman itu berlabel kopi
jahe nelayan. Lantaran terhalang berbagai kendala, penjualannya hanya bertahan
sesaat. Setelah itu, muncul generasi baru kopi jahe berlabel jahe 41 yang di kemudian
hari dijual lisensinya ke PT Osotspa ABC Indonesia.
Selanjutnya,
kebangkitan kopi jahe mulai tampak pada 2006. Setahun kemudian produk kopi jahe
makin banyak pengikutnya. “Antara lain ya anget sari, sidomuncul, torabika,
kuku bima, ABC,” ceplos lulusan Akuntansi Universitas Padjadjaran, Bandung,
Jabar ini.
Irwan
Hidayat, Direktur Utama PT Sidomuncul, produsen jamu berbasis di Semarang,
Jateng, menambahkan, dalam lima tahun terakhir, kopi jahe marak
diperbincangkan. “Sidomuncul sendiri melakukan terobosan itu
karena mengantisipasi perubahan tren. Terlebih lagi, penikmat minuman jahe
merata secara demografi dan ekonomi. Semua kalangan dari kelas yang paling atas
sampai yang C, D, E. Dari Aceh sampai Irian. Yang nggak suka mungkin anak-anak ya, ‘kan pedas,” paparnya kepada
AGRINA.
Silvyati K. Putri, Tim Pemasaran
PT Konimex Pharmaceutical Laboratories pun mengamati hal ini. “Sejak dua tahun
terakhir trennya tampak semakin meningkat, dilihat dari banyaknya pemain di
pasar baik itu minuman sari jahe, susu jahe, maupun kopi jahe,” katanya.
Menurut Silvyati, tren ini akan meningkat. Salah satu sebabnya adalah kesadaran
masyarakat untuk hidup sehat secara alami (back
to nature).
Minuman Unggul
Secara khusus, minuman berpadu
jahe menawarkan berbagai keunggulan khasiat. “Manfaat jahe sebagai minuman
kesehatan memberikan rasa hangat dan nyaman pada tubuh, juga mengatasi beberapa
gangguan pencernaan, seperti meredakan gejala masuk angin, mual, dan perut
kembung,” papar Silvyati.
Menurut Eddy Permadi, pemilik
CV Cihanjuang Inti Teknik (CIT), produsen turbin di Cimahi, Jabar, yang sejak tahun 2000 membuat
bandrek dan bajigur, menilik penuturan penikmat produknya, “Setelah meminum,
banyak konsumen menyatakan badan terasa lebih ringan. Dapat pula dijadikan minuman
untuk konsumen yang menderita masuk angin.”
Wahyu Widayani, Research &
Development Manager PT Sidomuncul menuturkan hal senada. “Khasiat secara umum
‘kan sama (dengan jamu dan permen), cuma kalau di minuman lebih banyak sebagai
penghangat, menghilangkan kembung,” tegasnya.
Perputaran
Bisnis
Kopi,
teh, dan susu jahe tidak hanya nikmat disruput. Perputaran bisnisnya juga
nikmat direguk. Lihat saja minuman bandrek dan bajigur keluaran CIT. “Saat ini
bandrek Hanjuang diproduksi sekitar 70 ribu sachet/hari.
Harga eceran bandrek kemasan eksklusif di pasaran berkisar Rp6.000 - Rp8.000
per kantong (isi lima bungkus). Sedangkan bandrek kemasan renceng dijual
sekitar Rp1.000/sachet,” jelas Eddy.
Sementara
ini, sambung Eddy, pemasaran bandrek masih di dalam negeri, terutama Pulau
Jawa, melalui pasar modern dan pasar tradisional. Untuk segmen kalangan
menengah ke atas disediakan kemasan eksklusif yang dipasarkan melalui
minimarket, tempat wisata, dan factory
outlet. Kemasan renceng dipasarkan untuk kalangan menengah ke bawah melalui
melalui pasar tradisional yang menyebar ke kios-kios kecil.
Bandrek
Hanjuang belum diekspor secara resmi. Namun, banyak distributor yang mengirimkan
produk ini ke berbagai negara, seperti Malaysia, Swiss, Australia, dan Arab
Saudi.
Sementara
itu, Sidomuncul memproduksi 30 juta bungkus minuman jahe, seperti kopi jahe,
jahe wangi, dan susu telor madu jahe (STMJ) per bulan. Kebutuhan jahenya per
bulan mencapai 80 ton jahe segar. Meski baru berumur dua tahun, kopi jahe
Sidomuncul sudah merambah ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia.
Tidak mau kalah, PT Dwimitra
Semerbak Artamulia, pemilik Semerbak Coffee dan produsen kopi dan susu jahe
Jago, di Depok, Jabar, ikut memburu laba. Minuman jahe dijual dalam bentuk
kemasan renceng dan gelas plastik (cup).
Kemasan renceng dijual ke pasar tradisional, sedangkan kemasan cup bertengger
di kedai Semerbak Coffee. Produk kemasan renceng yang baru beredar selama 1,2
tahun ini dijual di Depok dan Bandung (Jabar), Purwokerto dan Klaten (Jateng),
Madiun (Jatim). Sedangkan kemasan cup dijual
melalui waralaba outlet Semerbak Coffee. “Ada kurang lebih 520 mitra, yang sedang berkembang pesat
itu di Kalimantan dan Bali,” ungkap Ach. Fauzi, Supervisor Sales Marketing PT
Dwimitra Semerbak Artamulia. Sebanyak 300-400 karton jahe
jago (isi 120 sachet/karton) laris
terjual. Kebutuhan ekstrak jahenya mencapai 200 kg/bulan.
Sedangkan sang pencetus kopi
jahe, PT Diba Sari Buana, memproduksi ekstrak jahe, teh jahe, kopi pekat (dipadu jahe), dan kopi hitam (dipadu
jahe). Ia pemasok ekstrak jahe untuk PT Osotspa ABC Indonesia, PT Kino Sentra
Industrindo, Crystal Food, dan Anget Sari. Kebutuhan jahenya mencapai 90 ton/bulan,
terutama untuk membuat ekstrak jahe. Produksi teh jahe Diba Sari sekitar 2 ton/bulan.
“Per bulan 2.000 karton. Kalau satu karton itu Rp75 ribu, jadi omzet ini
sekitar Rp150 juta,” aku Deddy yang menjalankan bisnis minuman sachet ini
secara iseng. Karena itu pasarnya tidak merata, meliputi Bekasi, Bogor, Cianjur
(Jabar), Pamulang (Banten).
Pedagang
kaki lima juga ikut menyerap untung. Menurut Iin, penjual susu jahe kaki lima
di kawasan Pondok Labu, Jaksel, ia bisa menjual 30-40 gelas susu jahe seharga
Rp3.000/gelas. Dengan modal usaha Rp3 juta ia bisa memperoleh keuntungan Rp672
ribu/bulan.
Gandeng Mitra
Maraknya produk minuman
berbahan baku jahe, membuat jahe banyak diburu. Cuaca ekstrem pada 2010 menambah
kelangkaan jahe sehingga harganya makin membubung. Puncaknya pada 2011 lalu,
harga jahe mencapai Rp35 ribu/kg basah.
Demi mengamankan suplai bahan
baku, industri pengolah jahe menggandeng petani mitra sebagai pemasok utama
kebutuhan jahe. Meski begitu, para pelaku industri tetap mengandalkan suplai
dari beberapa pedagang pengumpul. Misalnya, Sidomuncul yang 70% jahenya dipasok
oleh pengumpul.
Menurut Wahyu, jahe yang
digunakan untuk meramu minuman jahe skala industri adalah jahe emprit (jahe
putih/kuning) segar. Sementara susu jahe yang dijajakan pedagang kaki lima umumnya
menggunakan campuran jahe gajah dan jahe merah segar. “Jahe emprit ruasnya
kecil. Kandungan minyak atsirinya lebih besar daripada jahe gajah (1,50% -
3,5%) sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Rasa dan
aromanya cukup tajam,” Wahyu menjabarkan.
Dedy menambahkan, “Jahe yang bagus itu minimal dipanen satu tahun”.
Umur jahe diketahui dari jumlah ruasnya. “Kalau ruasnya 9 ya (umurnya) 9 bulan.
Kalau (ruasnya) 12 ya 12 bulan,” imbuh pria kelahiran Cirebon, 4 Oktober 1966
ini. Sebab itu, jahe yang utuh harganya lebih mahal dibandingkan jahe yang
patah.
Jahe
segar yang diterima dari penyuplai membutuhkan penanganan cepat. Untuk mendapatkan ekstrak jahe, menurut Wahyu, jahe segar disortir, dicuci,
kemudian dihancurkan. Setelah itu, jahe dipres, diambil airnya, dan dipekatkan
sehingga menjadi ekstrak kental. “Dari ekstrak kental itu, kalau kita ingin
membuat minuman jahe wangi, dimasak bersama gula dengan titik didih tertentu sampai
mengkristal dan menjadi minuman serbuk,” tambah perempuan cantik berkacamata
ini. Kopi jahe pun menjalani proses
serupa. Bedanya, setelah mengkristal menjadi serbuk baru ditambahkan kopi dan
bahan lain.
Dedy
menambahkan, jahe instan (ekstrak) sebaiknya disimpan pada suhu 25-32°C. “Suhu
ruang, nggak perlu di kulkas. Yang
kering, (tapi) jangan sampai kena sinar matahari langsung. Expired-nya ini sampai satu tahun,” pungkasnya.
Windi Listianingsih, Peni SP, Renda D, Syaiful H,
Selo S, Tri MR, Yuwono IN.
Analisis Usaha Sederhana Susu Jahe Kaki Lima
Investasi Rp3.000.000
Gerobak & aksesori tempelan
jahe susu
Drigen ukuran 25 liter
Kompor gas & gas elpiji 3 kg
Payung & Ember (2 buah)
Bohlam & kabel 6 m
Modal awal dagang (Rp462.000/minggu)
Biaya
Pengeluaran per minggu Rp462.000
Jahe 7 kg @Rp25.000 Rp175.000
Susu satu krat Rp237.000
Isi ulang gas Rp17.000
Sabun colek dan lain-lain Rp50.000
Pendapatan
Rp90.000 x 7 hari Rp630.000
Harga jual susu jahe Rp3.000 x 30 gelas Rp90.000
Pendapatan
per minggu Rp630.000 – Rp462.000 Rp168.000
Pendapatan
sebulan Rp168.000 x 4 minggu Rp672.000
Sumber:
Iin, pedagang susu jahe di Pondok Labu, Jakarta
|