Sebagai
sistem kegiatan ekonomi yang berbasis sumberdaya hayati (tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan), agribisnis
terdiri dari enam subsistem. Yaitu, input (bibit dan pakan), produksi primer
(usahatani), pengolahan (susu dan sosis), pemasaran (segar dan olahan), jasa
penunjang (perbankan), dan lingkungan pemberdaya (kebijakan dan infrastruktur).
Kita
sering hanya melihat agribisnis dari segi subsistem produksi primer, yaitu sektor
pertanian (tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan), peternakan,
perikanan, dan kehutanan, yang total kontribusinya terhadap perekonomian
nasional, diukur dari indikator Produk Domestik Bruto (PDB), sekitar 15%.
Seolah-olah kontribusi agribisnis itu kecil.
Padahal,
agribisnis memandang kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya hayati itu dari hulu
ke hilir. Jika kita menggunakan Tabel I-O (Input-Output) Indonesia, kontribusi
agribisnis terhadap PDB sangatlah dominan. Berdasarkan Tabel I-O 2003, kontribusi
agribisnis terhadap perekonomian nasional sekitar 47% (Dr. Ir. Tungkot
Sipayung, 2008).
Dengan
demikian, agribisnis sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Pada
2013, banyak yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup cerah. Jika
kita rata-ratakan proyeksi yang dibuat pemerintah Indonesia, IMF, World Bank,
ADB, OECD, The Economist, Faisal Basri (Ekonom), Komite Ekonomi Nasional, dan
Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi nasional akan mencapai 6,4%.
Bagaimana
prospek agribisnis 2013? Tahun 2013, menurut Muhammad Zamkhani, yang membacakan
pidato kunci Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN, dalam “Seminar Agribusiness
Outlook 2013”, 5 Desember lalu, merupakan zamannya agribisnis untuk melihat
pasar dalam negeri. Potensi pasar domestik produk-produk agribisnis dari bidang
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan cukup besar.
Arief
Daryanto, Direktur Manajemen Bisnis IPB Bogor, mencatat ada beberapa faktor
yang mempengaruhi permintaan produk-produk agribisnis. Antara lain jumlah
penduduk, tingkat urbanisasi, tingkat pendapatan, distribusi pendapatan,
kualitas produk, selera, manfaat relatif harga terhadap biaya, revolusi pasar
modern, dan kebijakan pemerintah.
Seperti
diungkapkan McKinsey Global Institute (MGI), September 2012, dalam The archipelago economy: Unleashing
Indonesia’s potential, tahun lalu kontribusi 53% penduduk urban terhadap
PDB mencapai 74%. Jumlah penduduk kelas menengah dengan pendapatan US$3.600/kapita
sekitar 45 juta orang dari total penduduk 240 juta. Hal ini menggambarkan
betapa besarnya potensi permintaan produk agribisnis pangan.
Apalagi
dari sisi permintaan, sekitar 54% pertumbuhan ekonomi Indonesia dihela konsumsi
rumah tangga dan 33% investasi. Karena itulah, menurut Bank Dunia, dalam laporannya,
East Asia and Pacific Economic Update,
yang dirilis Rabu, 19 Desember 2012, perekonomian negara-negara di Asia,
termasuk Indonesia, di tengah melembeknya perekonomian global tetap kuat karena
ditopang permintaan domestik yang sangat kokoh.
Agar
potensi pasar domestik ini memberikan manfaat bagi pelaku agribisnis di sini,
menurut Zamkhani, diperlukan dua kebijakan. Pertama, kebijakan meningkatkan
daya saing produk ekspor. Kedua, kebijakan substitusi impor. Kita tidak bisa
menghalangi impor. Kita memberikan peluang impor yang meningkatkan nilai tambah
di dalam negeri.
Fadel
Muhammad mengungkap, dari pengalamannya sebagai Gubernur Gorontalo dan Menteri
Kelautan dan Perikanan, terdapat dua mazhab. Pertama, mazhab yang menyatakan
pangan harus ada, tidak mempersoalkan dari mana sumbernya. Bisa dari produksi
dalam negeri dan bisa juga impor. Kedua, mazhab yang menyatakan, pangan harus
ada dan harus dipenuhi dari dalam negeri. “Saya menganut mazhab yang kedua ini.
Ini harus (kerja) keras. Dengan (kerja) keras, kita mampu memenuhinya dari
dalam negeri. Jika impor terus-menerus, kita tidak akan mampu,” kata Ketua
Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) itu.
Bukan
berarti mazhab kedua ini mengharamkan impor. Impor tetap diperlukan untuk
hal-hal yang kita belum mampu. Misalnya impor indukan dan bibit atau benih.
Apalagi dengan impor itu dapat meningkatkan produktivitas. Dengan pendekatan
ini, nilai tambah lebih banyak dinikmati pelaku usaha atau konsumen di dalam
negeri.
Dari
sisi pasokan, menurut Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, tahun depan umumnya
lebih baik dari 2012. “Pertanian cukup baik. Perkebunan tidak spektakuler, tapi
tetap tumbuh. Yang paling baik perikanan, meski anggarannya tidak banyak.
Ternyata, yang banyak berpengaruh itu (perikanan) budidaya,” kata Bustanul.
Namun,
Bungaran Saragih, pakar agribisnis, berpendapat, tahun 2013 ini kita
harap-harap cemas. Harapannya, besarnya peluang pasar domestik. Cemasnya, jika
produksi di dalam negeri tidak mampu mengimbangi permintaan domestik. Apakah
kita rela negara lain menikmati peluang agribisnis yang bakal kinclong pada Tahun
Ular Air ini? Kebijakan yang kondusif sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan
produksi di dalam negeri.
Syatrya Utama