Selasa, 7 Agustus 2018

Peluang Tak Melayang Meski AGP Menghilang

Peternak masih mencari ramuan yang tepat supaya performa unggas kembali meningkat.
 
 
Sektor agribisnis, khususnya peternakan, menjadi perhatian Presiden Joko Widodo dalam membangun perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Untuk menunjukkan perhatiannya, Presiden Jokowi menyempatkan hadir ke Indo Livestock 2018 Expo & Forum di JCC, Jakarta, 4-6 Juli 2018.
 
Menyambangi pameran peternakan terbesar di Indonesia tersebut pada hari terakhir, Presiden menyatakan kekagumannya terhadap dunia peternakan di dalam negeri yang berkembang begitu cepat. Apalagi peternakan Indonesia saat ini sudah berorientasi ekspor. 
 
Di sela-sela kunjungannya, Presiden mengapresiasi pelaku peternakan yang telah mengadopsi peralatan dan teknologi modern. "Ini sebuah batu loncatan dari industri yang diharapkan bisa memperbaiki neraca perdagangan,” tuturnya.
 
Memang, pemerintah sangat serius menyoroti sektor peternakan di dalam negeri, berbagai peraturan dibuat dengan tujuan memajukan dan menjaga keamanan pangan hasil dari sektor peternakan. Yang masih hangat, peraturan mengenai dilarangnya antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter – AGP) dalam budidaya ternak.
 
Kementerian Pertanian menuangkan kebijakan itu dalam Permentan No. 14/2017, tentang klasifikasi obat hewan. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita berujar, kebijakan ini diambil demi terwujudnya pangan yang aman dan sehat. “Kita ingin bangsa kita dihargai bangsa lain. Produk pangan yang aman tentu dilirik oleh negara lain,” ulasnya belum lama ini.
 
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tanpa pengawasan dikhawatirkan menimbulkan resistensi. Seiring mulai berlaku beleid tersebut 1 Januari 2018, Kementan memperketat pengawasan terhadap integrator dan peternak mandiri. Bahkan sanksi disiapkan bagi siapapun yang melanggar. Pemerintah tak segan mencabut izin operasinya.
 
Dalam kesempatan berbeda, Ni Made Ria Isriyanti, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditkeswan, Ditjen PKH, menuturkan, petunjuk teknis (juknis) terkait Permentan No.14/2017 tengah disusun. Juknis dibuat dengan maksud memperjelas medicated feed (pakan terapi) yang boleh digunakan. Dengan berlakunya permentan tersebut, era baru perunggasan di Tanah Air resmi dimulai.
 
 
Tantangan Pascapelarangan
 
Era baru perunggasan diharapkan menjadikan industri ini ke arah yang berkelanjutan dan lebih bertanggung jawab. Dicabutnya AGP sebagai imbuhan pakan, mengharuskan peternak lebih baik lagi dalam manajemen budidaya. Namun, setelah larangan ini berjalan selama tujuh bulan, ancaman penyakit dan menurunnya produksi masih dirasakan peternak.
 
Joko Susilo, peternak broiler (ayam pedaging) di Bogor mengatakan, pascapelarangan AGP, peternak harus memutar otak supaya produktivitas ternaknya tetap apik. Sampai Mei 2018, imbuhnya, indeks performa (IP) pemeliharaan broiler masih di bawah 300. Padahal, standar IP yang baik adalah 300. Semakin tinggi nilai IP, maka semakin berhasil peternakan broiler.
 
Menurut Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Antar Lembaga GOPAN ini, segala upaya telah dilakukan peternak agar performa ayamnya meningkat, mulai dari perbaikan pakan hingga manajemen. Namun pertumbuhan masih belum bisa serentak sehingga tingkat keseragaman bobot menurun.
 
Dari segi pakan, lanjut dia, meskipun efisiensinya bagus, ayam sulit sekali untuk mencapai bobot maksimal. Hal ini menandakan fungsi pencernaan di tubuh ayam terganggu. Kemudian, menurunnya IP bisa diperparah ketika terjadinya stres. Deplesi pun mencapai 40%. Namun yang membingungkan, efisiensi pakan masih di atas 60%. “Padahal IP dan feed intake-nya jauh sekali,” tandas Joko.
 
Berbagai macam pengganti AGP memang telah tersedia di pasaran, tetapi bagi Joko yang memilih produk probiotik, cara pengaplikasiannya menjadi kendala. Dulu, penggunaan AGP terbilang mudah karena masuk ke dalam pakan, peternak praktis tinggal pakai saja.
 
Sekarang, pengganti AGP tidak bisa produk tunggal. Kapan pemakaian yang tepat, itu yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi peternak. Belum lagi petugas kandang yang mesti diedukasi lagi.
 
Sementara itu, Suaedi Sunanto, Direktur Elanco Animal Health Indonesia menimpali, dihilangkannnya AGP bukan serta merta mencari penggantinya saja. “Bukan seperti itu, harus mengevaluasi lebih jauh lagi,” ungkapnya.
 
Mengutip konsensus dan literatur, Edi menyatakan, ketika AGP dicabut dan tanpa ada pengganti apapun, biaya produksi akan naik sekitar 11%. Hal itu karena waktu kering kandang lebih lama 8,5%. Konversi pakannya pun membengkak.
 
Yang menjadi tantangan utama ketika antibiotik dilarang, ucap alumnus IPB ini, adalah bacterial enteritis. Kejadianbacterial enteritis tidak semata-mata berasal dari infeksi bakteri tapi bisa juga berasal dari koksi, virus, dan dari pakan ataupun nutrisi. Untuk itu, simpulnya, integritas saluran pencernaan perlu dijaga.
 
 
Perbaikan Manajemen
 
Joko mengatakan, berlakunya Permentan No.14/2017 menimbulkan tantangan sekaligus peluang bagi pelaku usaha. Bila ini bisa dimanfaatkan dengan baik, keuntungan yang dirasakan peternak akan besar. Ia menyebut, keuntungan efisiensi produksi bisa dicapai.
 
Dengan tercapainya efisiensi, peluang pasarnya akan naik dan diiringi harga ayam hidup di atas harga pokok produksi (HPP). Dari sisi konsumen, keamanan pangan lebih terjamin karena tidak perlu khawatir ada residu antibiotik dalam daging dan telur ayam. Namun itu semua dapat terwujud saat peternak menemukan komposisi pengganti AGP yang tepat. 
 
Tantangan yang saat ini dihadapi peternak, menurut Joko, adalah ayam lebih ringkih (mudah sakit). Performa ayam menurun dan bobotnya kurang seragam. Kondisi tersebut tak terlepas dari mayoritas kondisi peternakan di Indonesia 70% masih menggunakan kandang terbuka dan kurang layak.
 
Khusus di daerah Jawa Barat, banyak peternak yang memanfaatkan sumur gali sebagai sumber air. Dengan kondisi kandang ala kadarnya berikut sumber air yang juga apa adanya, AGP tadinya memainkan peranan sebagai protokol kesehatan yang ampuh.
 
Tak mau terus merugi, peternak mulai berbenah agar produksinya meningkat. Joko melakukan istirahat kandang yang cukup, sanitasi, dan mengetatkan biosekuriti. “Manajemen brooding-nya kita kembalikan lagi,” cetusnya.
 
Ventilasi udara pun diatur. Peternak dengan kandang open (terbuka), secara sedehana menambah kipas angin untuk mengatur udara. Namun ketersediaan listrik menjadi kendala sehingga pengaturan ventilasi dilakukan dengan menaik-turunkan tirai penutup kandang.
 
Kemudian yang terpenting, lanjut dia, menjaga ketersediaan dan kualitas air karena bila kekurangan bisa mengganggu keseimbangan dan performa. Kalau rasio pakan dan minumnya tidak tercukupi, stres dan penyakit mudah datang.
 
“Di samping sanitasi kandang, pemilihan pakan dan bibit (DOC) yang berkualitas juga sangat penting bagi peternak-peternak yang tidak berbudidaya di closed house (kandang tertutup),” paparnya.
 
Sebagai sesama peternak, Joko mengingatkan, performa ayam harus dijaga dalam menghasilkan produksi yang bagus supaya keuntungan tetap didapat. Kemudian setelah yakin dengan kondisi pakan, biosekuriti diperketat, sanitasi dan istirahat kandang yang cukup perlu diterapkan.
 
Dari sisi akademisi dan konsumen, Prof. Ali Agus menilai kesadaran masyarakat akan pangan yang sehat dan aman seperti bebas antibiotik mulai timbul. Ia menilai, penggunaan antibiotik secara berlebihan memang kurang baik bagi kesehatan ternak.
 
Dosis antibiotik bisa saja ditingkatkan ketika patogen tak lagi mempan lagi dengan takaran biasa. Akumulasi antibiotik inilah yang dikhawatirkan terbawa sampai ke konsumen.
 
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI) ini meyakini, dicabutnya AGP secara ekonomi akan menambah biaya yang dikeluarkan peternak untuk bahan pengganti atau saat pengobatan ketika terjadi penyakit.
 
Namun alumnus Ecole Nationale Superieure Agronomique de Rennes (ENSA), Perancis, ini juga memperkirakan kerugian yang bisa muncul akibat resistensi terhadap antibiotik.
 
Guru Besar Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak ini menyarankan, peternak mengubah pendekatan terhadap ternaknya. Mereka perlu memperhatikan kesejahteraan hewan dan aspek nutrisi.
 
Ternak yang nyaman dan sejahtera akan optimal produktivitasnya. Sementara dari nutrisi, imbuhan pakan yang aman dan ukuran pakan yang sesuai akan memudahkan usus dalam penyerapan sehingga performa pun jadi maksimal.
 
 
Try Surya Anditya, Jeanne Isbeanny

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain