Jumat, 9 Pebruari 2024

Permasalahan Pangan Tidak Terlepas dari Impor

Permasalahan Pangan Tidak Terlepas dari Impor

Foto: Sabrina Yuniawati
FGD Arah Kebijakan Pertanian Setelah Pemilu - Moderator, Fenny, Esther, & Topan (kiri ke kanan).

Jakartra (AGRINA-ONLINE.COM) - Permasalahan pertanian di Indonesia terlalu banyak, namun dari permasalahan tersebut solusinya hanya impor. Menurut Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, permasalahan pangan di Indonesia saat ini tidak lepas dari ketergantungan terhadap impor, tidak hanya beras, tetapi juga sayur mayur, buah-buahan hingga garam.
 
"Problem pangan di Indonesia banyak sekali impor. Padahal, lautan kita sangat luas tetapi kenapa garam impor, apakah kita tidak bisa memproduksi garam? Ini hal yang sangat menyedihkan," katanya saat acara FGD diselenggarakan Panen News bertema “Arah Kebijakan Pangan Indonesia Pasca Pemilu 2024, Jakarta (9/2).
 
Esther menilai solusi pemerintah untuk swasembada beras hanya kebijakan populis, yang hanya sementara. Akhirnya, jalan pintas pemerintah untuk memenuhi pangan dalam negeri saat produksi kurang adalah impor. "Contoh, beras produksinya kurang maka impor, gulanya kurang impor, semua diimpor. Ini tidak berpikir panjang bagaimana caranya melakukan swasembada pangan, baik itu beras maupun lainnya," ungkapnya.
 
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Esther menyebutkan, impor pangan dari tahun ke tahun meningkat jumlahnya. Indonesia pernah swasembada beras dan menduduki peringkat keenam sebagai eksportir gula di dunia. "Pada tahun 1984, bisa swasembada beras dan mendapatkan penghargaan FAO, sekarang impor beras. Pada zaman Belanda, Indonesia eksportir gula terbesar di dunia, nomor 6, tapi sekarang termasuk 10 besar impor gula terbesar dunia. Ini kenapa zaman kebalik-balik gitu,” terangnya. 
 
Esther menegaskan, arah kebijakan pangan harus dibalikkan lagi, tidak hanya sekadar temporer. Ia merinci, strategi kedaulatan pangan. Pertama, enabling environment. Menurut Esther, regulasi kedaulatan pangan harus dibenahi, utamanya pupuk masih sering langka, sarana prasarana pertanian minim, dan infrastruktur yang tidak baik.
 
"Jadi, nanti monggo dari Bulog atau pemerintah khususnya Kementerian Pertanian diperbaiki kebijakannya. Artinya apa? Ini petani ingin tanam tidak ada pupuk, adapun mahal sekali. Kedua sarana prasarana pertanian  juga minim, infratruktur minim. Artinya regulasi untuk mendorong sarana prasarana pertanian itu harus didorong," harapnya.
 
Perum Bulog menetapkan, arah kebijakan pangan Indonesia dengan memperkuat pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan. General Manager Unit Bisnis Bulog, Sentra Niaga Topan Ruspayandi mengatakan, saat ini pemerintah Indonesia dalam konteks beras punya kebijakan pengelolaan CBP beserta dengan semua program turunannya. "Di sisi hulu, kita melakukan pengadaan dalam negeri untuk melakukan penyerapan produk pangan khususnya beras dari petani dengan kebijakan penetapan harga pembelian pemerintah oleh Badan pangan nasional (Bapanas)," terangnya.
 
Sedangkan sisi hilir, lanjut Topan, ada program operasi pasar saat ini disebut Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Dua program ini, dilakukan oleh Bulog dalam rangka menyalurkan cadangan beras pemerintah. "Kurang lebih saat ini yang dikerjakan oleh bulog dalam konteks kebijakan pangan negara dan kita berharap ke depan program-program ini dapat terus dilakukan," imbuhnya.
 
Sedangkan dari sisi sawit, Vice President Communication and Public Affair PT Astra Agro Lestari, Fenny Sofyan mengatakan, dari 12 komoditas pangan strategis yang dijaga pemerintah hanya sawit tidak pernah penah impor. "Jadi, 12 pangan yang strategis, hanya sawit yang tidak impor. Itu dulu yang harus digarisbawahi," bangganya.
 
Meski demikian, Fenny mengingatkan bahwa sawit dalam lima tahun terakhir mengalami stagnasi produksi yang hanya di 51 juta ton. Sehingga, ini harus menjadi perhatian pemerintah ke depannya. "Jadi, kalau misalnya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sawit itu berkembang di tahun 1980 dan berkembang pesat lagi pada 1986. Artinya itu sudah 38 tahun yang lalu," ujarnya.
 
Terkait dengan kebijakan, kata Fenny, industri kelapa sawit masih menghadapi ketidakpastian dalam hal investasi. Padahal, sejak 2006 sawit sudah memberikan sumbangsi terhadap devisa negara. Salah satu alasannya adalah banyaknya kementerian/lembaga yang mengurusi komoditas terbesar Indonesia ini. Nah, bagi investor, ini sangat menggangu. Belum lagi kebijakan yang tumpang tindih.
 
"Saya berharap ke depannya ada kebijakan satu pintu terkait industri kelapa sawit ini, mau dibawa ke mana, raod mapnya itu seperti apa, road mapnya 10 tahun, 50 tahun lagi mau kemana, sehingga strateginya akan seperti apa, peusahan ini akan  dibawa ke mana, petani ini akan gimana dan sinernginya akan seperti apa, termasuk juga harganya," pungkasnya.
 
 
 
 
 
Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain