Selasa, 25 Nopember 2008

Soen'an Hadi Poernomo Sang Pelindung Kaki Lima

Posisi pedagang kaki lima cukup dilematis. Merusak pemandangan kota dan mengganggu ketertiban sekaligus menjadi katup pengaman sosial.

Realitas menjamurnya warung kaki lima dapat dilihat di kota-kota besar, seperti Jakarta. Seringkali kita melihat pelaku bisnisnya kalang kabut karena tempatnya berdagang “digaruk” petugas tramtib. Padahal, menurut Dr. Ir. Soen’an Hadi Poernomo, M.Ed, Penasihat Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (AKLI), tidak selamanya warung pinggir jalan atau kaki lima jelek. Keberadaannya justru memberi kontribusi terhadap perekonomian masyarakat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja. Ini realitas tak terbantahkan di tengah kondisi negara kita yang sektor industrinya belum bisa menyerap banyak tenaga kerja. “Warung kaki lima ini yang bisa menjadi salah satu katup pengaman terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang masih serba kekurangan ini,” katanya.

Namun umumnya masyarakat dan pemerintah masih beranggapan warung kaki lima mengganggu ketertiban. “Kita tidak memungkiri, kalau memang ditertibkan, harus juga diberikan tempat alternatif bagi mereka. Mereka juga harus diberi ruang untuk usaha,” tambahnya.

Apalagi kalau penertiban yang dilakukan dengan sikap arogan. Jika pemilik warung dan anak buahnya menganggur, apakah nantinya tidak akan menambah masalah dan bukan tidak mungkin mengarah ke arah kriminalitas? “Memang akan tertib di daerah tersebut tapi akan menyebabkan ketidaktertiban di daerah lain. Saya berharap bisa tertib dan bisa makmur. Ini keinginan kita semua,” tegas Soen'an.

Pria asli Lamongan, Jatim, ini prihatin melihat pembangunan mal atau plasa di banyak lahan strategis tapi pengembangnya tidak memberikan kesempatan pada pedagang kaki lima yang bermodal kecil untuk tempat berjualan di sekitarnya. “Seharusnya ada disisakan sedikit ruang untuk pedagang kaki lima. Toh pekerja di sekitar gedung tersebut juga banyak yang membutuhkan kehadiran mereka,” sarannya.

Pernah Prihatin

Kehadiran kaki lima yang dibutuhkan para pegawai dan kalangan menengah bawah ini mengingatkan Soen’an pada menjelang kelulusannya di Akademi Usaha Perikanan. Waktu itu, calon sarjana yang akan diwisuda diharuskan memakai jas. Padahal, “Saya tidak pernah punya jas. Kalaupun pinjam pasti kegedean,” kenangnya yang kala itu masih berperawakan kecil dan kurus.

Soen’an muda pun terpaksa harus menghemat uang saku saat praktik supaya mampu membeli jas. “Pagi hari makan bubur kacang ijo, siang makan di pabrik tempat praktek, dan malam harinya makan di warteg dengan satu lauk agar bisa hemat uang,” katanya sambil senyum mengingat masa sulitnya.

Tak cukup sampai di situ, ia bahkan rela membeli tikar dan tas yang juga berfungsi sebagai bantal. “Sayang jika uang buat bayar kos. Mendingan tidur di rumah teman meski harus menggelar tikar dengan bantal tas,” dalihnya. Alhasil, setelah tiga bulan, ia bisa membeli jas dari uang praktik kerja.

Berbekal pengalaman pribadi itulah Soen’an terinspirasi untuk berkiprah di kalangan pelaku bisnis kaki lima. Kehadiran penjual makanan kaki lima memang dibutuhkan bagi pegawai kecil. Soalnya mereka memang harus menghemat gajinya untuk kebutuhan sehari-hari.

Aktif Berorganisasi

Membaur di kalangan pedagang kaki lima tidaklah sulit bagi Soen’an. Pasalnya, sejak kuliah hingga saat ini dirinya aktif di berbagai organisasi, seperti Pengurus Pusat Pramuka Saka Bahari, Pengurus Masyarakat Perikanan Nusantara, dan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia serta Ikatan Alumni AUP. “Dengan berorganisasi, saya akan mendapatkan banyak teman dari berbagai kalangan, mengenal karakter orang,” tandasnya.

Bersama teman-temannya, Soen’an menghidupkan lagi perkumpulan orang-orang Lamongan di Jakarta yang dinamai Putera Asli Lamongan (PUALAM). Anggotanya kebanyakan pelaku usaha kaki lima yang berjualan tahu campur, pecel lele, sea food, bebek goreng, soto, dan lain sebagainya.

Sebagaimana masyarakat Lamongan yang suka merantau untuk mengadu nasib, demikian pula Soen’an. Apalagi kondisi alam kota kelahirannya tidak ramah, lahan sawah kering-retak, air sulit didapat. Ia menggambarkan pasokan air di Lamongan dengan istilah Lamongan Kota Kodok yang akronim dari ketigo, gak iso cewok, rendheng gak iso ndhodhok  (pada musim kemarau tidak bisa cebok karena tidak ada air, dan pada musim hujan tidak bisa duduk karena terlalu banyak air). “Profesi petani, petambak sudah tidak menarik lagi karena sudah tidak bisa diandalkan untuk menghidupi keluarga,” lanjutnya.

Selain kondisi alam, Soen’an juga terpengaruh oleh novel-novel petualangan karangan Karl May dan Mark Twain yang dibacanya sejak masih di SD. Dari situlah ia membulatkan tekad untuk mengejar cita-citanya agar bisa sukses dan melancong ke luar negeri. “Saya pengin keluar negeri dengan cara yang memungkinkan karena saya anak seorang janda miskin yang menggantungkan hidup dari jualan, jadi saya muluk-muluk,” ungkap ayah tiga orang anak ini. Untuk itu, setelah lulus SMA, ia memilih melanjutkan pendidikannya di Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Jakarta.

Soen’an pun berangkat ke Jakarta untuk kuliah di AIP. “Saya ingin menjadi nakhoda atau ABK agar bisa keluar negeri,” cetus angkatan ke-7 AUP ini. Sayangnya, niatan itu pupus gara-gara AIP tidak membuka pendaftaran. Laki-laki kelahiran 1951 ini pun mendaftar ke Akademi Usaha Perikanan pada 1971 dan lulus tiga tahun kemudian.

Lulus kuliah, Soen’an bekerja di instansi pemerintah. Lima tahun menjalani karirnya, apa yang diidamkannya, yakni melancong keluar negeri pun, tercapai. Pada 1979, ia mendapat kesempatan memperdalam keilmuannya di Jepang. Sejak saat itu, pecinta lagu-lagu Koes Plus ini sering bepergian ke berbagai negara untuk menjalankan tugasnya. Kini, ia menggawangi Pusat Data dan Informasi Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain