Selasa, 9 Desember 2008

H. Lukman Zakaria S.Pdi, Jangan Mati Sebelum Sejahtera

Kata-kata itu terdengar ambisius dan materialis. Namun jangan dulu berburuk sangka karena sejahtera itu dimaksudkan bukan untuk diri semata tapi juga bagi para anggota organisasinya.

Itulah yang diperjuangkan H. Lukman Zakaria selaku Ketua Asosiasi Petani Karet Indonesia (APKI). Sebagai orang yang ditunjuk menjadi pemimpin, Lukman mengerti betul aspirasi sejawatnya petani-petani karet anggota APKI. Apalagi ketika harga komoditas yang membuat periuk mereka berasap, sejak September lalu anjlok sampai 30 persen.

Tak heran bila lelaki yang juga Ketua Adat Masyarakat Melayu, Jambi, itu siap pergi ke mana pun untuk urusan petani karet, bahkan hingga ke mancanegara. Padahal, ia tidak memperoleh gaji dan uang jalan. “Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Saya juga sudah mendapatkan dari hasil karet milik saya,” kilahnya.

Komitmen Lukman membantu petani pun pernah tercetus dalam pertemuan petani karet di Bangkok, Thailand, pada 2007.  Bersama beberapa ketua perkumpulan petani dari enam negara, yaitu Thailand, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Sri Lanka, dan India, “Kami bersumpah pada waktu itu, yang intinya jangan mati dulu sebelum petani kita makmur dan sejahtera,” ungkap Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jambi ini kepada AGRINA.

Berharap dari Yang Muda

Kendati harga karet kuartal ketiga 2008 turun, Lukman meyakini prospek komoditas penghasil getah ini ke depan masih sangat baik. Pasalnya, pohon karet ibaratnya bisa menghidupi petaninya seumur hidup, tentunya jika dikelola dengan baik. “Dengan sekali menanam saja, petani bisa panen seumur hidup,” tegasnya.

Hal itu menjadi pendorong bagi lulusan Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jambi ini untuk mendidik taruna tani agar bisa menjadi petani yang lebih profesional, khususnya dalam pengelolaan karet. “Tidak semua orang memiliki ketrampilan ini. Yang terjadi adalah spontanitas saja, yaitu petani melihat praktik menderes karet di lapangan selama tiga hari dan sudah bisa langsung melakukannya,” jelasnya.

Memang secara praktik mereka sudah bisa, tapi, lanjut dia, bagaimana menderes atau menoreh kulit pohon karet agar tidak merusak batangnya dan mendapatkan hasil yang optimal, tidak semua petani mampu. “Teori inilah yang seharusnya ditransformasikan ke petani sehingga nantinya petani-petani muda bisa menikmati hasil karet dalam waktu singkat dan maksimal,” imbuh bapak lima anak itu.

Lebih jauh dia berharap, ke depan generasi muda Indonesia mau terjun dan mengelola kebun karet dengan serius. Apalagi karet termasuk komoditas dunia yang berhasil dikembangkan di Indonesia sejak seabad silam. Karena itu agribisnis karet harus diupayakan agar lebih kompetitif dan efisien baik dalam budidaya maupun teknologinya.

Dalam pandangan Lukman, kebanyakan petani karet sekarang cukup mandiri dan berpengalaman dalam menghadapi berbagai permasalahan karet, mulai dari budidaya hingga pasar. Meski acap kali merasakan jatuh bangun, toh mereka tetap berkutat di bisnis yang ditekuninya secara turun temurun tersebut. Mereka berdalih, sudah tidak bisa lagi bekerja di tempat lain. “Mereka ini menggantungkan hidup dari pohon karet yang telah ditanam beberapa tahun lalu,” terangnya.

Hal tersebut di sisi lain menyebabkan posisi tawar mereka lemah di mata pelaku industri karet.  Padahal, apa jadinya jika petani sudah ogah bertanam karet lagi karena menganggap tidak ada untungnya dan menggantinya dengan komoditas lain? Tentunya industri karet juga akan merasakan dampaknya dan jumlah pengangguran pun bertambah. Belum lagi para pekerja yang selama ini juga hidup dari perkebunan karet   

Kerja Keras dan Cerdas

Melihat kondisi itu, Lukman ingin mengubahnya. Ia berpendapat, petani harus punya kebanggaan dengan apa yang telah diupayakannya. Kebanggaan itu akan memberikannya semangat untuk tetap bekerja keras.

Pria kelahiran 11 September 1952 ini punya filosofi, manusia harus bekerja keras dan cerdas. Oleh sebab itu, ia pun ingin anak petani karet harus bisa memperoleh pendidikan yang lebih baik. “Jangan tinggali mereka rumah sebagai warisan tapi tinggali ilmu pengetahuan. Itu lebih penting.  Dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, kehidupan mereka akan lebih berkembang. Bahkan bukan tak mungkin mereka mampu mengembangkan daerahnya lebih maju,” tuturnya.

Keinginan suami Hj. Sanimah ini bertolak dari seringnya melihat anak petani tidak bisa melanjutkan sekolah atau malah tidak disekolahkan orangtuanya. Agar mereka memperoleh pendidikan yang baik, ia pun mendirikan pondok pesantren bagi anak-anak petani tersebut. Semangat membantu petani tersebut dilandasi prinsip, sebagai manusia dirinya harus berdakwah, bisa membela kepentingan orang banyak, juga harus punya peninggalan yang baik.  Seperti kata pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati itu meninggalkan nama. Jadi, ia bertekad meninggalkan sejarah terbaik bagi anak cucu dan teman-temannya yang kelak ia tinggalkan.

Tak heran bila ke mana pun pergi, Lukman selalu membawa biji tanaman apa saja untuk ditanam di tempat ia berkunjung. Selain hobi, ia beranggapan, yang dilakukannya itu adalah salah satu bentuk ibadah manusia untuk menghargai Sang Pencipta.

Tri Mardi Rasa dan Selamet Riyanto

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain