Jumat, 4 Pebruari 2022

Perdana Agusta, Membangun Daerah dengan Peternakan Modern

Perdana Agusta, Membangun Daerah dengan Peternakan Modern

Foto: Dok. Pribadi
“Meski sama-sama ternak ayam, saya konsep produksi dan jual dengan cara berbeda. Sehingga, hasilnya beda juga.”

Daerah potensinya besar dan belum dilirik banyak orang.
 
 
Ketika orang berlomba-lomba mengembangkan karir di kota besar, Perdana Agusta memilih membangun bisnis di daerah. Tidak tanggung-tanggung, Sarjana lulusan teknologi informasi dari Monash University, Australia ini menceburkan diri ke peternakan ayam petelur. Apa motifnya?
 
 
Hasrat Berbisnis
 
Selepas lulus kuliah pada 2004, pria yang akrab disapa Agung ini mengaku galau karena hasratnya ingin berbisnis dan bukan sekadar bekerja di bidang IT (Information & Technology). “Kita tidak harus bekerja sesuai jurusan. Kuliah itu untuk membangun karakter, tempat pembentukan pola berpikir. Kita belajar untuk ambil keputusan, bagaimana riset, dan mengembangkan karakter diri,” ujarnya saat berbincang dengan AGRINA di Jakarta.
 
Selain itu, Agung ingin tinggal dekat dengan orang tua di Payakumbuh, Sumatera Barat yang memiliki usaha peternakan layer (ayam petelur). Ia meyakini, bisnis di daerah punya peluang lebih besar untuk berkembang.
 
“Karena di luar negeri kehidupan orang seperti stagnan. Dengan penghasilan besar, biaya hidupnya juga besar. Lebih mungkin untuk sukses di daerah. Di Jakarta terlalu banyak persaingan. Di daerah potensinya besar. Ini belum dilirik banyak orang,” katanya yang pernah bekerja di bidang kuliner sewaktu kuliah.
 
Lantaran banyak peternak layer di Payakumbuh, Agung mencoba usaha penjualan obat hewan sebagai ajang belajar. Dua tahun menjalani bisnis, ia jadi sering bertemu peternak. Akhirnya, Agung mendirikan peternakan layer di tahun 2006.
 
“Kalau dagang biasa, kita hanya berhubungan dengan pelanggan. Kalau jadi peternak, kita juga berhubungan dengan makhluk hidup lain yang kompleks pemeliharaannya. Saya jadi tertarik, tertantang,” tukasnya blak-blakan.
 
 
Teknologi Tinggi
 
Kemudian, pada 2007 Direktur PT Agung Abadi Putra Mandiri itu membeli peternakan berkapasitas 60 ribu ekor ayam petelur produktif. “Titik balik bisnis ayam petelur ini terjadi pada tahun 2008, Agung mau mencari cara bagaimana agar produktivitas telur melonjak,” lanjutnya.
 
Setelah riset panjang ditambah kunjungan ke Malaysia dan Thailand, ia memutuskan untuk mengubah peternakan tradisional menjadi peternakan berteknologi tinggi dengan sistem serba otomatis. Peternakan ini menerapkan konsep smart farming (pertanian cerdas). “Ini pendidikan waktu kuliah terpakai. Agung nggak ngalamin kesulitan untuk menggunakan teknologi yang diimpornya dari Jerman,” ulasnya.
 
Pendidikannya di bidang IT, memudahkan Agung menyesuaikan penggunaan teknologi berbasis smart farming. “Software untuk produksi internal kita bikin inhouse. Itu pakai database inhouse. Kita menerapkan sistem closed house (kandang tertutup) juga,” kupasnya.
 
Di Sumatera Barat peternakannya yang pertama menggunakan sistem peternakan otomatis. “Bahkan di seluruh Indonesia baru 3%-5% yang menggunakan sistem otomatis. Dengan sistem otomatis, suhu kandang ayam bisa diatur optimal untuk bertelur pada suhu 18-20 oC dan pemberian pakan dilakukan oleh mesin jadi lebih sedikit pakan yang kebuang,” jelasnya terperinci.
 
Menggunakan teknologi smart farming, produktivitas ayam meningkat drastis dan mendatangkan cuan besar. “Untuk ternak tradisional di lahan 2 ha misalnya, hanya punya populasi 40 ribu ekor ayam. Tapi kalau sistem otomatis, lahan 2 ha bisa menampung 350 ribu ekor ayam. Setelah pakai teknologi otomatis, profitnya meningkat tinggi,” cetusnya semringah.
 
Namun jika peternak tidak mau berubah, pria yang hobi cari duit ini menegaskan, bersiaplah untuk mati. “Jangan sampai berpikir tradisional saja karena semakin dituntut. Dengan adanya climate change (perubahan iklim) dan margin tipis, kalau kita nggak efisien, sudah tidak bisa. Closed house itu sebenarnya cara paling efisien dalam mencapai produksi. Suhu dan pakan diatur,” imbuhnya.
 
 
Mencintai
 
Agung menuturkan, profesi pilihannya ini sempat dianggap remeh masyarakat sekitar. “Bagi orang Minang, selorohnya itu kamu jauh-jauh sekolah tapi ujung-ujungnya ternak ayam kayak yang lain. Tapi satu hal yang membuat saya berbeda adalah meski sama-sama ternak ayam, saya konsep produksi dan jual dengan cara berbeda. Sehingga, hasilnya beda juga,” ucapnya bangga.
 
Apalagi, ia juga merasa senang selama beternak sampai mengibaratkan tidak ada duka dalam beternak. “Layer ini menyenangkan karena ilmunya, ada hal-hal baru. Ketika ada perbaikan genetik, kita harus belajar lagi. Memang peternak layer itu sainsnya ada untuk mengejar produktivitas 500 butir telur/ekor/tahun. Saya dari awal nggak pernah merasa ayam itu bau atau menjijikan pekerjaannya. Saya Mencintai pekerjaan saya,” terangnya dengan antusias tinggi.
 
Tidak ada kesulitan mempelajari peternakan karena lelaki yang bermoto hidup menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain dan terus belajar itu menganggap semua yang dilakukan sebagai pembelajaran. “Bagi Agung semua hal itu ilmu. Ketika kita menikmati, nggak merasa, itu bukan passion, kita tetap jalani, pasti akan senang,” katanya penuh semangat.
 
 
Pasar Jakarta
 
Selain menyalurkan telur kemasan berlabel Sofrezzh secara lokal, Agung juga memasarkan 60% telur yang diproduksi ke Jakarta. Ia menambahkan, belum spesifik mempromosikankan telur omega karena masih tahap edukasi telur kemasan. Terlebih, nilai telur segmen premium seperti telur omega atau DHA bagi masyarakat Indonesia juga terbilang kecil. “Edukasi telur kemasan ke masyarakat Payakumbuh. Ini telur kemasan yang kita kasih betul-betul premium. Sambutannya sangat positif. Sudah berjalan 2 tahun, grafiknya alhamdulillah baik,” sahutnya berseri.
 
Kendati begitu, ia sempat merasakan harga ‘pahit’ saat pengetatan karantina wilayah di Jakarta. “Jakarta ini ‘kan menjadi acuan pasar nasional. Di Jakarta itu pasar domestiknya besar karena konsumsinya gede. Jadi ketika dibatasi, harga turun, otomatis pasarnya jauh berkurang, penyerapan nggak maksimal,” urainya.
 
Pria yang suka menonton film, membaca, dan jalan-jalan ini mengulas, mengirim telur ke Jakarta setiap hari sekitar 14 mobil bermuatan 8 ton telur/mobil. Ketika karantina wilayah, bebernya, “Tetep kirim tapi memang harganya betul-betul ‘pahit’. Harga sempat turun ke 13ribu/kg.”
 
Saat harga telur menanjak, Agung menyebut, peternak seperti pelaku dosa karena kenaikan harga menjadi penyumbang besar inflasi. “Satu hal yang pemerintah tidak pikirkan, BEP (Break Event Point) juga tinggi dengan harga Rp5.000 up. Gelombang kenaikan pakan terjadi di awal-awal Covid. Kalau misalnya dihitung secara HPP (Harga Pokok Produksi), nilai pas yang kita ukur 3,5 kali harga pakan. Rata-rata pakan jadi Rp6.000/kg, HPP Rp23 ribu-Rp24 ribu/kg,” buka dia apa adanya.
 
Karena itu, efisiensi mesti dilakukan. “Kita perlu dana cadangan, itu penting. Efisiensi cara beternak juga. Dalam produksi, kita efisiensi. Pengeluaran tidak penting tidak usah. 2021 itu masa suram bagi peternak petelur karena pasrah. Bagi peternak yang nggak punya cadangan, itu berat sekali. Kalau 2022, mudah-mudahan akan lebih baik,” harapnya optimis.
 
 
 
Windi Listianingsih dan Try Surya Anditya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain