Minggu, 4 September 2022

Petrus Andianto, Menjadi Pionir

Petrus Andianto, Menjadi Pionir

Foto: Windi Listianingsih
“Nggak ada sesuatu yang langsung diberikan Tuhan tanpa proses. Ketika kita dapat hasil, itu pasti lewat proses.” - Petrus Andianto

Edukasi teknologi membuat petani dan pertanian Indonesia lebih berdaya saing.
 
Agar selalu menjadi yang terdepan dalam bidang yang digeluti, maka kita harus memulai lebih dulu, melangkah lebih awal.
 
Itulah benang merah yang disampaikan Petrus Andianto, Managing Director PT Daya Santosa Rekayasa (DSR), perusahaan yang menghadirkan solusi bagi pertanian 4.0 melalui fasilitasi greenhouse terintergrasi saat berbincang dengan AGRINA.
 
Bagaimana upaya Petrus untuk memimpin pasar sarana teknologi pertanian di Indonesia?
 
 
Hi-tech Greenhouse
 
DSR yang memulai usaha pada 1989 dengan menyediakan sarana irigasi, ungkap Petrus, kini beranjak menuju teknologi rumah kaca (greenhouse). “Greenhouse kami sasarannya adalah hi-tech greenhouse (rumah kaca berteknologi tinggi),” ujarnya. Greenhouse ini melibatkan peran internet of things (IoT) untuk memudahkan pengoperasian.
 
Menurut Petrus, greenhouse bukan sekadar bangunan tempat budidaya tetapi harus dilengkapi teknologi yang mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik, seperti sistem irigasi otomatis.
 
Sebab, mau tidak mau kita harus siap menghadapi perubahan iklim (climate change) yang berdampak signifikan terhadap sektor pertanian. Satu yang pasti, populasi hama pengganggu akan meningkat sehingga perlu antisipasi keberadaannya dalam kegiatan budidaya.
 
Kualitas tanaman dan hasil panen pun harus terjaga agar mewujud profit. “Climate changemembuat orang akan semakin enggan bertani karena tidak tahu cara antisipasinya,” bebernya.
 
Di samping itu, seluruh kegiatan budidaya harus bisa diawasi dan menghasilkan data yang akurat. Terlebih, jika pemerintah ingin membagikan greenhouse untuk petani.
 
“Kenapa harus melibatkan IoT, supaya negara bukan hanya memberikan hibah tetapi bisa juga mengawasi. Petani ini kalau kita kasih greenhouse, datanya ada tidak? Kalau datanya tidak ada, berarti dia tidak melakukan budidaya,” jelasnya.
 
Input teknologi tentu akan memberi nilai tambah bagi tanaman dan petani Indonesia yang tertinggal dari petani negara lain, semisal petani Vietnam yang sangat familiar menggunakan greenhouse.
 
“Kami berusaha mengedukasi. Kalau ketinggalan (dari negara lain) ya jangan jauh-jauh banget. Climate change ini akan membuat Anda hancur kalau nggak siap,” tandasnya.
 
 
Pionir
 
Sarjana Pertanian lulusan UPN Veteran Surabaya, Jatim ini mengatakan, belum banyak perusahaan yang bergerak di bidang greenhouse terintegrasi. DSR menjadi salah satu yang terdepan menerapkan hi-tech greenhouse.
 
Ini bertujuan merebut dan menikmati pasar lebih awal sekaligus menjadi pionir dan unggul dalam persaingan. “Saya percaya bahwa IoT ini ke sana akan lebih besar dan kami yang pertama,” katanya optimis.
 
Petrus pun aktif memperkenalkan hi-tech greenhouse, salah satunya pada program Food Estate hortikultura di Humbang Husudutan (Humbahas), Sumut.
 
“DSR berperan dalam program umbi berteknologi.Di sana pakai automatic water, irrigation, semua ada, termasuk mekanisasinya. Bagi kami itu ajang untuk berlatih. Karena service, ya hubungannya sama agronomi. Agronomi itu mempunyai peran kunci,” ucapnya.
 
DSR mengelola 17 ha lahan untuk ditanami kentang di dalam greenhouse. Ia mengaku kegiatan ini sulit dilakukan karena budaya masyarakat terbiasa menyadap kemenyan.
 
“Itu sangat menantang. Mau nggak mau, DSR ambil di situ. Kalau kami tidak ambil, kami tidak bisa jadi pionir,” cetus pria yang bermoto hidup passion, learn, & careitu.
 
Harapannya, masyarakat tertarik bertani menggunakan teknologi dan berubah budayanya menjadi petani yang kompetitif.
 
Untuk mendukung pelayanan terhadap teknologi, imbuhnya, DSR membangun training centre (pusat pelatihan) di Karangploso, Malang, Jatim yang akan diresmikan pada 2023.
 
“Akan ada berbagai macam jenis greenhouse. Greenhouse manual sampai greenhouse sistem. Gimana caranya kita mengurangi kelembapan dalam greenhouse. Ada soil lab, water lab. Mau nggak mau kalau kita mau swasembada, image-nya harus diubah (menuju pertanian berteknologi),” tambahnya.
 
Pusat pelatihan ini akan diprioritaskan untuk mahasisa magang melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
 
“Di situ mereka benar-benar kerja. Konsepnya MBKM adalah anak-anak itu ketika bekerja akan tahu anak buahnya akan mengerjakan berapa lama, dengan cara apa mereka melakukannya,” lanjut pria yang gemar merancang sistem irigasi itu.
 
 
Kompetitor
 
Petrus membuka, persaingan dengan China memang cukup mengganggu. Karena itu, ia menyiapkan strategi teknologi automasi sejak awal untuk membendung produk China.
 
“Namanya irigasi, China sudah mulai. It will increase. Strateginya automation. Kalau (pasar) sudah red, ya saya pindah. Irigasi lagi in. Tapi, saya sudah tahu suatu saat akan turun dalam 10 tahun,” singkapnya.
 
Menerapkan teknologi sedini mungkin, beber Petrus, membantu DSR meningkatkan nilai pangsa pasar (market share).
 
Market share DSR turun. Kalau dulu 80%, perkiraan sekarang 70% tapi value-nya naik karena orang sudah sadar perlunya irigasi. Artinya, bisnis saya naik. Sejak saya pegang tahun 2018, sampai tahun ini saya optimis akan naik,” tuturnya yang bergabung dengan DSR sebagai sales pada 2005.
 
Kunci suksesnya, sambung Petrus, belajar dari kompetitor. “Harus itu. Sudah menjadi hobi. Kalau saya ketemu kompetitor, itu paling senang. Apa kunci sukses mereka, saya itu mempelajari dan harus sigap. Itu yang membuat DSR semakin lama semakin besar. DSR segede apa pun, saya berharap DSR mau belajar. Belajar itu paling cepat dari kompetitor,” tukasnya blak-blakan.
 
Ia paling tidak senang jika tim yang meremehkan kompetitor. Bahkan, ia pernah menjatuhkan Surat Peringatan (SP) pada Senior Manager dan Supervisor karena meremehkan kompetitor. “Biar jadi pelajaran,” argumen Petrus.
 
Orang mungkin menyebutnya terlalu paranoia tersebab hal ini. “Saya tahu kompetitor saya kecil. Tapi, paranoia itu yang membuat saya belajar lebih banyak. Saya takut kalau dia lebih besar. Kalau dia besar, ya saya harus lebih besar supaya dia kelihatan lebih kecil. Jadi, paranoia yang membuat saya survive (bertahan),” ulasnya.
 
Kemudian, ia juga menekankan pentingnya berorientasi hasil. Pria yang memilih cita-cita bekerja di bidang pertanian sejak SMP ini beralasan, hasil akan diperoleh setelah melakukan serangkaian proses.
 
“Kalau kamu punya hasil, pasti berproses. Nggak ada sesuatu yang langsung diberikan Tuhan tanpa proses. Ketika kita dapat hasil, itu pasti lewat proses,” tandasnya menutup perbincangan menarik di Kamis sore hari itu (25/8).
 
 
 
 
 
Windi Listianingsih dan Brenda Andriana

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain