Minggu, 12 Nopember 2023

Bisnis Makanan Pedas Semakin Mengganas

Bisnis Makanan Pedas Semakin Mengganas

Foto: Selo Sumarsono
Mie Gacoan, salah satu restoran sambal pedas berlevel-level yang lagi tren

Tren kuliner pedas berlevel-level mengerek permintaan cabai rawit merah hingga ke hulu.
 
Tren makanan pedas benar-benar booming pada 2019. Banyak pecinta kuliner memburu makanan yang panas di lidah itu. Hingga kini makanan pedas masih ngetren di kalangan remaja. Sekadar contoh, Mie Gacoan yang mengandalkan menu mi pedas dengan level 1-8 hampir selalu ramai pembeli kalangan muda. Belum lagi berbagai warung penyedia menu seblak.
 
Meningkatnya jumlah restoran sambal berlevel-level tentu harus sejalan dengan meningkatnya produksi cabai. Bagaimana manajemen pengadaan bahan baku itu bagi pemerintah dan para pengusaha kuliner saat harganya menyengat kantong sampai pertengahan November ini? Berikut laporan AGRINA terkait hulu-hilir cabai nasional.
 
 
Biang Kerok Mahalnya Cabai
 
Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional pada awal November 2023, rata-rata harga cabai rawit merah di pasar tradisional menyentuh Rp76.150/kg, sementara cabai keriting Rp58.550/kg. Hingga 16 November 2023 pantauan AGRINA harga cabai keriting mencapai Rp82.500/kg dan cabai rawit merah bertengger Rp96.650/kg.
 
Hal senada disampaikan Tiur Tampubolon, pedagang pengecer di Pasarminggu, Jakarta, harga cabai rawit merah di sana mengalami kenaikan setiap hari. Bahkan pada 10 November 2023 mencapai Rp90ribu/kg cabai rawit merah.
 
“Harga cabai naik terus dari Oktober. Seminggu lalu cabai rawit mencapai Rp100ribu/kg ini sudah turun jadi Rp90.000/kg. Sebelumnya harga cabai rawit hanya Rp30ribu/kg secara bertahap naik, naik sampai tembus Rp100ribu/kg. Saya sedih tidak bisa belanja banyak. Biasanya beli cabai di Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) 10 kg sekarang cuma bisa 5 kg,” curhat Tiur.
 
Peneliti Center of Digital Economy and SMEs, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda menjelaskan, kenaikan harga cabai di berbagai wilayah di Indonesia terutama dipicu cuaca ekstrem. Tanpa hujan,produksi cabai menurun, pasokan pun terbatas. Harga di tingkat konsumen jadi mahal. Perlu antisipasi saat musim tidak bersahabat, seperti peningkatan teknologi pengeringan cabai. Sewaktu panen berlimpah bisa dijadikan stok jangka panjang.
 
“Pasokan petani sangat terbatas, sangat dimungkinkan middle man (pengepul) bermain dengan menumpuk stok sehingga harga melambung tinggi. Perlu intervensi dari pemerintah dalam menekan harga cabaidengan mengirim cabai dari wilayah basis produksi ke wilayah nonbasis produksi,” ungkapnya kepada AGRINA (11/11).
 
Senada dengan Huda, Abdul Hamid, Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) mengatakan, penyebab naiknya harga cabai yaitu petani tanam mundur dua bulan. Petani tanam pada Agustus dan September, panen berlimpah saat November. “Yang tanam banyak gagal, bukan gagal panen tapi gagal tanam. Selain itu ada juga yang gagal panen, tanamnya berhasil. Memang cuaca ekstrem ini faktor paling utamayang menyebabkan harga cabai naik, terutama cabai rawit merah,” katanya kepada AGRINA (16/11).
 
Hamid menambahkan, bertanam cabai saat musim kemarau maupun hujan sama-sama ada kekurangan dan kelebihannya. “Yang paling baik itu musim kemarau tapi harus ada air. Musim hujan bisa diatur drainasenya.Cara tepatnya adalah latih petani mengunakan teknologi, musim kemarau pakai drip irigasi hemat air, saat hujan pakai rain shelter atau sungkup,” terangnya.
 
Di sisi lain, petani cabai senang harga cabai saat ini. Salah satunya Nandang, petani cabai Desa Budhiharja, Kec. Cililin, Kab.Bandung Barat, Jabar mengatakan, naiknya harga merupakan keuntungan bagi petani karena biaya produksi selanjutnya bisa tersedia.
 
“Efek kemarau panjang jarang yang bisa tanam, juga banyak yang gagal panen karena sumber air mengering. Petani yang bisa panen produksi tidak maksimal,” kata bapak yang sudah budidaya cabai sekitar 34 tahun ini. 
 
Nandang berharap, ada harga yang pas untuk sama-sama dinikmati petani dan konsumen. “Di Jepang ada batas mahalnya, begitu pun rendah ada batasnya.Tidak mahal sekali bagi konsumen dan tidak merugikan petani,” tegas pria yang mengikuti pelatihan di Jepang 3 November silam.
 
 
 
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 353 terbit November 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain