Sabtu, 7 Desember 2019

Biaya Produksi Mahal, Perlu Adopsi Bioteknologi

Biaya Produksi Mahal, Perlu Adopsi Bioteknologi

Foto: Selo Sumarsono
Winarno Tohir, peran Bulog menyerap beras perlu diterapkan pada jagung

Benih jagung bioteknologi bisa menjadi solusi untuk menghasilkan jagung dengan kualitas baik.
 
 
Ketersediaan jagung dengan harga yang “ramah” bagi petani dan industri peternakan menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing produk ternak unggas nasional.
 
Apalagi pasar industri ini di dalam negeri tengah menjadi incaran produsen mancanegara. Jagung pun tengah mendapat ancaman hama baru (Spodotera frugiperda). 
 
Untuk menggali solusi dari para pemangku kepentingan jagung, Forum Diskusi AGRINA menghadirkan Bungaran Saragih, (pakar agribisnis), H. Winarno Tohir (Ketum Kontak Tani Nelayan Andalan/KTNA), Idham Sakti Harahap, Dosen Departemen Proteksi Tanaman, Faperta IPB, M. Gazali (Kasubdit Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Kementan), Johan (Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak/GPMT), dan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec,. Dekan Sekolah Vokasi IPB di Jakarta (13/11) .
 
Dari sisi produsen, Winarno Tohir menyoroti hubungan jagung sebagai bahan pangan dan bahan baku pakan ternak unggas. Tinggi rendahnya harga pakan ternak tergantung harga jagung yang selanjutnya berdampak pada harga telur dan daging.
 
“Penyebab tingginya harga jagung, benih jagung hibrida masih memerlukan perbaikan tanah dengan pemupukan organik dan an-organik. Hal ini tentu akan berdampak pada biaya produksi.
 
Perlu adanya peralihan menggunakan benih bioteknologi, dirakit sesuai dengan kondisi tanah,” katanya saat tampil di diskusi bertajuk “Penyediaan Jagung Pakan Sesuai dengan Harga Acuan untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Ayam Nasional,” tersebut. 
 
Selain itu, lanjut dia, masalah terkait budidaya dan pascapanen jagung masih sama setiap tahun. Di sisi lain, pabrik pakan terus meningkat setiap tahun. Jika tidak diatasi secara serius petani jagung tidak akan sejahtera karena menghasilkan kualitas jagung yang masih di bawah standar pabrik pakan.
 
“Petani senang sekali saat ada program pemberian 1.000 alat pengering jagung. Akan tapi tidak terlaksana sama sekali. Padahal dari zaman Suharto masalah alat pengering baik di padi maupun  jagung sudah ada, seharusnya sudah diselesaikan. Bulir jagung besar-besar tidak bisa dikeringkan dengan matahari,” katanya. 
 
 
Pengembangan Jagung Bioteknologi
 
Winarno berpendapat, benih bioteknologi atau Produk Rekayasa Genetik (PRG) bisa menjadi solusi untuk menghasilkan jagung dengan kualitas baik. Teknologi biotek memiliki potensi sangat besar untuk meningkatkan luas panen jagung per kapita per tahun.
 
“Indonesia tidak bisa lagi menggunakan teknologi konvensional, harus mengikuti teknologi terkini supaya petani dapat keuntungan dalam budidaya jagung. “Sudah menunggu 12 tahun petani jagung untuk diperbolehkan menggunakan benih bioteknologi. Harus menunggu berapa lama lagi, petani sangat membutuhkannya,” tegas bapak yang pernah magang bertani di Jepang ini.  
 
Dia mengutip laporan Internasional Service for the Acquisition of Agribiotech Applications (ISAAA), luas tanaman biotek mencapai 185 juta ha di 26 negara pada 2016. Tanaman ini memberikan manfaat lebih sekitar 18 juta petani. Sebanyak 92% dari total 38,01 juta ha lahan jagung Amerika ditanami jagung biotek.
 
Brasil juga menanam benih biotek sebanyak 15,67% juta ha dari total luas lahan jagung 17,73 juta ha. Pun Afrika Selatan sudah menanam jagung tersebut seluas 2,16 juta ha pada 2016 dengan tingkat adopsi mencapai 90%. 
 
 
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 306 yang terbit Desember 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain