Rabu, 4 Mei 2022

Industri Pakan Optimistis Tetap Tumbuh

Industri Pakan Optimistis Tetap Tumbuh

Foto: Windi Listianingsih
Jagung lokal cukup mahal

Biaya produksi membengkak, tetapi pelaku industri pakan ternak masih berharap bisa menikmati pertumbuhan 3%-5% tahun ini.
 
 
Perang Ukraina versus Rusia yang terjadi di Eropa ternyata berimbas sampai ke Indonesia. Tidak percaya? Ikuti saja penuturan Desianto Budi Utomo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) pada webinar AGRINA Agribusiness Outlook 2022 yang mengangkat tema “Geliat Bisnis Udang dan Unggas di Tahun Macan Air” (10/3)berikut.
 
 
Harga Bahan Baku Melambung
 
Ukraina terbilang penghasil gandum dan jagung terbesar di Eropa. Akibat perang melawan Rusia, ekspor komoditas tersebut terhambat sehingga keseimbangan suplai di pasar dunia terganggu. “Di pasar global, harga gandum, jagung, dan minyak mentah meningkat tajam dari Januari 2022 hingga sekarang. Konflik dua negara tersebut mendongkrak harga komoditas pertanian lebih cepat,” jelas Desianto.
 
Bersyukurlah Indonesia, lanjut dia, bahan baku pakan unggas, yaitu jagung 50%-60%, diperoleh dari lokal. Namun harga jagung lokal pada awal 2022 sudah cukup tinggi dibandingkan2021, antara Rp5.800-Rp5.900/kg dengan kadar air (KA) 15%. Pada 2021 harga rata-rata Rp5.392-Rp5.800/kg. Dia memperkirakan harga jagung akan tetap tinggi, meskipun memasuki musim panen raya.
 
“Biasanya stock on hand (stok di gudang pabrik pakan) untuk dua bulan, sekarang hanya 28 hari. Stok menipis di pabrik pakan dan trader. Gudang dalam kondisi sangat lapar sehingga waktu panen raya jagung jadi rebutan pedagang, peternak, dan pabrik pakan. Ini menjadi trigger utama mengapa panen raya tidak menurunkan harga jagung. Biasanya secara nasional saat panen ada penurunan harga, ini alih-alih turun malah naik sebelum panen raya,” ulas dokter hewan jebolan Unair 1986 ini.
 
Karena itulah selama tiga tahun terakhir nutrisionis pabrik pakan membatasi penggunaan jagung untuk menekan biaya produksi. Porsi yang seharusnya 50%-60% menjadi hanya 35%-45%.   
 
Selain jagung, bahan baku yang terdampak permasalahan global adalah bungkil kedelai (Soybean Meal-SBM) dan tepung tulang dan daging (Meat & Bone Meal (MBM). SBM sebagai sumber protein nabati utama dibutuhkan sekitar 25% dalam pakan ayam. MBM sebagai sumber protein hewani berkontribusi cukup besar. Harga bahan baku impor 100% ini naik signifikan mulai dari 2021 hingga 2022 (Lihat Tabel). “Naiknya SBM dan MBM sangat berpengaruh terhadap struktur biaya produksi bagi industri pakan,” ungkap Ketua Ikatan Alumni Unair Komisariat FKH ini.
 
Selain keseimbangan suplai, kenaikan harga bahan baku impor juga dipicu melambung sewa peti kemas akibat kelangkaan dan melonjaknya ongkos angkut melalui laut lantaran kenaikan harga minyak mentah. Desianto mencontohkan, ongkir ekspor udang ke Amerika Serikat (AS) yang sebelum pandemi US$2.000-US$2.500 pada 2020 melonjak jadi US$22 ribu atau naik 10 kali lipat lebih pada Maret 2021.
 
Padahal, harga bahan baku mempengaruhi sampai 80%-85% terhadap harga pakan. Jadi, ketika harga bahan baku melambung secara langsung mempengaruhi biaya produksi pakan per kg.
 
Sampai akhir 2021, total kapasitas produksi pakan 110 pabrik di Indonesia sebanyak 29,652 juta ton/tahun. Dari angka ini, 67% kapasitas berada di Pulau Jawa. Akibat pandemi, lanjut dia, produksi pakan unggas menurundari 20,5 juta ton(2019) tinggal 18,9 juta ton(2020). Pada 2021 produksi naik kembali menjadi sekitar 20,5 juta ton. “Diharapkan pada 2022, meskipun agak sulit, dapat tumbuh 3%-5% atau setara 21,5 juta ton,” jelas doktor alumnus The Roslin Institute Inggris itu.  
 
 
Sejalan Konsumsi Protein
 
Lebih jauh Vice President PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPI) tersebut menerangkan, mati-hidupnya bisnis pakan unggas ditentukan oleh industri unggas. Pasalnya, 90% pakan unggas dikonsumsi industri unggas.
Sampai sekarang unggas berkontribusi sampai 65% sebagai sumber protein hewani masyarakat Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat terhadap ayam dan telur akibat pandemi membuat permintaan pakan unggas berkurang dan akhirnya mempengaruhi industri pakan.
 
Mengutip data BPS 2021, konsumsi daging unggas kita sebelum pandemi sekitar 12,9 kg/kapita/tahun dan ketika pandemi menjadi 9,7 kg/kapita/tahun. Sebagi pembanding, konsumsi daging unggas Malaysia lebih dari 40 kg/kapita/tahun. Demikian pula konsumsi telur nasional baru sepertiga atau setengahangkaMalaysia.  
 
Desianto yakin, industri pakan masih ada peluang besar, tinggal mendorong daya beli masyarakat dan kampanye konsumsi protein hewani. “Pertumbuhan ekonomi yang selama 2021 sebesar 3,69% diharapkan tahun ini tetap tumbuh. PDB (Produk Domestik Bruto) yang juga terus tumbuh diharapkan mendongkrak daya beli masyarakat yang kemudian akan mengerek demand masyarakat terhadap ayam dan telur lalu mengerek demand terhadap pakan unggas,” cetusnya.    
 
   
Budidaya Modern yang Efisien
 
Peluang bertumbuhnya industri unggas nasional masih besar, tetapi tantangannya juga tak kalah besar. Salah satunya,peluang masuk ayam dari Brasilyang sangat kompetitif.
 
Negara itu kaya akan bahan baku pakan sehingga harga pakannya murah.Harga jagung Rp4.600danbungkil kedelai di Brasil cuma Rp5.600 per kg. Dua bahan baku ini sudah mencakup 80% bahan pakan sehingga biaya produksi ayam hidupnya rendah, Rp13.900/kg. Sedangkan biaya produksi ayam hidup kita mencapai Rp17.500/kg di kandang tertutup dan Rp19 ribu-Rp20 ribu/kg di kandang konvensional.
 
“Artinya Indonesia tidak bisa bersaing head to headdengan ayam Brasil. Kita kalah di sidang WTO. Mereka akan datang, tinggal tunggu waktu. Jadi, Indonesia siap tidak siap, harus siap, berhadapan dengan produk ayam Brasil,” urai Desianto mewanti-wanti.
 
Untuk itu, perunggasan Indonesia harus meningkatkan daya saing. Dari sisi pakan, GPMT mengusulkan ke pemerintah agar membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) semua jenis pakan dan beberapa komoditas bahan baku pakan dengan kode HS spesifik.Saat ini bahan baku pakan masih kena PPN 10% dan bea impor 5%. Usulan GPMT ini mempertimbangkan negara-negara lain,seperti Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia yang membebaskan PPN semua bahan baku pakan.
 
Dosen FKH Unair 1987-2000 tersebut menambahkan pentingnya meningkatkan efisiensi dan produktivitas dengan modernisasi cara budidaya dan penerapan pola bisnis yang terintegrasi. “Efisiensimerupakan syarat mutlak untuk bisa meningkatkan daya saing,” tandasnya.  
 
Perunggasan di Thailand, Brasil, China, Malaysia, dan Meksikokini mengarah ke industri terintegrasi secara penuh seperti di Uni Eropa dan AS. Produksi pakan, pembibitan, budidaya hingga pengolahannya berada di satu lokasi. Bahkan, “Untuk memenuhi tuntutan peningkatan efisiensi dan produktivitas budidaya, mereka menerapkan integrasi multisektor mulai dari produksi pertanian (jagung, kedelai, gandum), pabrik pakan, budidaya, hingga ke pengolahan. Kita juga harus mengarah ke integrasi, baik horizontal maupun vertikal agar produk kita lebih kompetitif,” pungkasnya. 
 
 
 
 
Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain