Minggu, 4 September 2022

Bersiasat Saat Biaya Melangit

Bersiasat Saat Biaya Melangit

Foto: Dok. Pribadi
Subardi, tambah hara dengan kotoran kambing dan mulsa plastik menghindari tikus

Melambungnya harga pupuk diperparah dengan serangan OPT mengakibatkan produktivitas padi anjlok. Bagaimana persiapan tanam berikutnya?
 
 
Musim kemarau basah biasanya menjadi berkah bagi petani karena ketersediaan air mencukupi bagi pertumbuhan tanaman padi. Namun musim kemarau basah tahun ini, petani menghadapi dua tantangan berat dalam berproduksi, yakni melambungnya harga pupuk nonsubsidi dan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Tak pelak banyak yang mengalami penurunan produktivitas.
 
Hal itu paling tidak diungkap Yoyo Suparyo, tokoh petani senior di Pamanukan, Kab. Subang, Jabar. “Jangankan mencapai potensi hasil, rata-rata hasil saja nggak tercapai. Saya saja hanya dapat 7,5 ton, biasanya minimal 8,5 ton per hektar. Rata-rata petani ada yang 3, 2 5, bahkan hanya 1,5 ton karena serangan OPT-nya juga agak berat. Penggerek batang dan patah leher dengan situasi alam yang juga tidak bersahabat,” ujar penanam varietas IR 42 ini saat dihubungi AGRINA (8/9).
 
Fakta senada dituturkan Tri Wahyuni, petani di Desa Cibuaya, Kec. Cibuaya, Kab. Karawang, Jabar. “Panenan Juni banyak yang kena tikus. Banyak yang nggak panen penuh. Ada yang satu hektar hanya keluar 500 kg. Ada juga nggak dipanen sama sekali karena ludes. Termasuk sawah saya punya diserang tikus tapi alhamdulilah panen 5 ton, masih balik modal. Tikus menyerang saat tanaman muda sehingga masih bisa tumbuh kembali. Memang harusnya tanam serempak,” cerita alumnus Faperta UGM ini.
 
 
Biaya Membengkak
 
Lebih jauh Yoyo yang juga memiliki kios saprodi memaparkan, alokasi pupuk subsidi dibatasi hanya untuk dua hektar, sementara harga pupuk nonsubsidi naik gila-gilaan. Contoh, harga pupuk KCl yang sebelum pandemi sekitar Rp650 ribu, naik menjadi Rp900 ribu, dan kemudian melonjak menjadi Rp1,8 juta/kuintal. Sementara merek yang lain dari Rp680 ribu jadi Rp1,58 juta/kuintal.
 
Karena itu, ia terpaksa menurunkan dosis pupuk KCl yang biasanya 200–250 kg tinggal 100 kg/ha. Kendati dosis pupuk sudah berkurang, total biaya tetap bengkak hampir 100% lantaran, “Harga pestisida naik, nggak ada lagi yang pakai pestisida premium. Mereka pakai yang generik dengan bahan aktif sama supaya terjangkau,” imbuh bapak yang tanamannya kini berumur 30 hari tersebut.
 
Ongkos kerja, lanjut dia, juga tak mau ketinggalan. Biaya olah tanah dengan traktor tadinya Rp1 juta menjadi Rp1,3 juta/ha. Pun biaya panen dengan mesin perontok satu ton berkisar Rp600 ribu-Rp1 juta, padahal sebelumnya Rp400 ribu–Rp500 ribu. Sementara yang menggunakan mesin panen (combine harvester) Rp600 ribu-Rp700 ribu.
 
Cerita senada dituturkan Subardi, petugas lapangan PT Primasid Andalan Utama di Kecamatan Kota Gajah, Lampung Tengah (6/9). Menurutnya, kebanyakan petani di wilayah kerjanya 10-15 hari lagi panen. Para petani mengalami kekurangan pupuk karena alokasi pupuk subsidi dikurangi, sedangkan yang nonsubsidi harganya cukup menguras kantong. Dosis pupuk urea yang biasanya 200 kg, terpaksa dikurangi jadi 100-150 kg/ha. “Para penyuluh lapangan menganjurkan penambahan kompos dari batang jagung yang dihancurkan dengan rotari. Jerami juga jangan dibakar,” ujar alumnus Faperta Unila ini.
 
Bardi yang juga memiliki sawah sendiri menanam varietas Mapan 05. Menurutnya, padi hibrida ini kekurangan pupuk urea tidak bermasalah asalkan komposnya cukup. Ia menggunakan kotoran kambing yang sudah digiling sebanyak 200 kg/0,25 ha. “Kalau sekarang tanam, nanti sore atau besok ditaburkan supaya langsung bisa nempel ke tanah, nggak mengapung kalau kena air. Kompos nggak usah diberikan,” ujar sembari menunjukkan tanamannya melalui panggilan video.
 
Rata-rata panen di Lampung Selatan varietas inbrida seperti Inpari 32 sebanyak 5,5 ton, sementara yang hibrida Mapan 7 ton. Pada musim tanam gadu ini, OPT yang menonjol adalah tikus dan penyakit kresek. “Untuk mencegah serangan tikus, saya pasang mulsa hitam perak sekeliling petakan.  Tingginya 80 cm. Lumayan juga harganya Rp600 ribu untuk 0,5 ha. Masih ditambah umpan berperangkap,” jelas Bardi yang tanaman jagungnya pernah ludes diserang tikus.
 
 
Tips Praktis
 
Pada pertanaman musim hujan mendatang, petani masih akan menghadapi tantangan masih mahalnya pupuk. Kendati, menurut Dadang Gusyana, harga pupuk internasional sudah lebih “jinak”, mengalami penurunan rata-rata 6% sejak minggu pertama Agustus. Ia berpendapat, “Dengan adanya peningkatan harga pupuk, awareness (kepedulian) kita terhadap dosis dan efisiensi harus ditingkatkan. Cara memupuknya harus dibenahi.”
 
Anggota American Society of Agronomy tersebut menjelaskan soal kelengkapan hara. Unsur kalium yang memang mahal sangat diperlukan. “Kalium tidak hanya bermanfaat untuk pengisian bulir tapi juga ada hubungannya dengan ketahanan tanaman terhadap OPT. Ini pilihan bagi petani, mana yang lebih penting dibeli dulu pupuk atau pestisida?” ulasnya.
 
 
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 339 terbit September 2022 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain