Kamis, 12 Oktober 2023

Berharap Penyelesaian Polemik Lahan Sawit

Berharap Penyelesaian Polemik Lahan Sawit

Foto: Windi Listianingsih
Polemik status penunjukan kawasan hutan di lahan sawit membuat iklim usaha tidak kondusif

UUD 1945 menjamin setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh negara.
 
Industri sawit masih dihantui regulasi yang menimbulkan ketidakpastian berusaha, salah satunya ketidaktuntasan masalah tata ruang wilayah (RTRWP/RTRWK). Menurut Prof. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, kebijakan tata ruang industri kelapa sawit pada kawasan hutan telah beberapa kali mengalami perubahan sejalan dengan berubahnya kondisi sosial, ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan nasional.
 
Aturan terakhir yang cukup menjadi polemik adalah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. PP ini sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. “Ketidaktuntasan penyelesaian masalah tata ruang ini salah satu akar masalah yang rumit,” ujarnya.
 
Terkait hal ini, Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut, ada narasi keliru yang beredar mengenai 3,3 juta ha lahan sawit yang diputihkan akibat masuk dalam kawasan hutan. “Yang terjadi bukan seperti itu. Cuma narasi itu sudah terbentuk. Seolah begitu dahsyatnya, 3,3 juta ha. Sehingga negara dirugikan sekian ribu triliun. Padahal, itu terjadi di dalam HGU (Hak Guna Usaha), kawasan hutan ya masuk HGU,” ulasnya dalam Workshop GAPKI “HGU Perkebunan Sawit dan Kawasan Hutan”.
 
 
Tidak Konsisten
 
Gde Astawa menilai, PP No. 10/2010 tidak saja menghambat pengembangan baru perkebunan sawit, tapi juga menyulitkan posisi perkebunan sawit yang beroperasi sejak sebelum tahun 1999.
 
Artinya, semua perkebunan sawit yang sudah beroperasi sebelum 1999 namun belum memperoleh izin pelepasan kawasan hutan, harus mengurus kembali pelepasan kawasan hutan tersebut.
 
“Apalagi, PP No. 10 Tahun 2010 berikut PP Perubahannya bersifat retroaktif sehingga perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi sebelum tahun 1999 bisa dianggap melanggar UU Kehutanan dan dikategorikan kriminal,” jelasnya.
 
Ia menjelaskan, HGU menurut Pasal 28 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria (UU PA), adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
 
Hak ini diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 ha. Jika luasnya 25 ha atau lebih, harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang sssuai dengan perkembangan zaman.
 
Sedangkan, kawasan hutan mengacu Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
 
Pengukuhan kawasan hutan, Pasal 15 ayat (1) menyebut,  dilakukan melalui empat proses, yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan.
 
Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU–IX tahun 2011, penunjukan kawasan hutan tidak sama dengan pengukuhan kawasan hutan. Penunjukan hanya merupakan bagian dari proses ataupun tahapan ke arah pengukuhan kawasan hutan. Karena itu, penunjukan kawasan hutan tanpa proses lainnya tidak punya kekuatan hukum mengikat dan melanggar UUD 1945. Putusan MK ini merupakan putusan terhadap permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 41/1999.
 
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 352 terbit Oktober 2023 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain