Selasa, 4 Oktober 2022

Menilik Benefit Vaksinasi di Hatchery

Menilik Benefit Vaksinasi di Hatchery

Foto: DOK. Ruud Ploeg - POULTRYWORLD
Hatchery vaccination tak lagi sekadar tren tapi sudah menjadi kebutuhan

Vaksinasi di industri perunggasan sudah menjadi sebuah keniscayaan. Hatchery vaccination pun muncul sebagai pilihan.
 
 
Ayam pedaging (broiler) modern dibekali potensi genetik pertumbuhan yang begitu cepat. Dengan kata lain, broiler memiliki karakteristik metabolisme tubuh yang sangat tinggi. Namun demikian, tingkat stres intrinsiknya juga mengikuti.
 
Wayan Teguh Wibawan, Guru Besar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB University berujar, broiler komersial saat ini diperlihara dalam waktu relatif singkat. Untuk itu, sepanjang masa pemeliharaan diusahakan jangan terlalu banyak tindakan yang menimbulkan stres. Pada dasarnya, anak ayam memiliki kekebalan maternal (maternal antibody) dari indukan selama 10-14 hari masa kehidupan awal.
 
“Faktor penentu keberhasilan pemeliharaan broiler selain keseimbangan nutrisi, stres intrinsik dan ekstrinsik adalah tata laksana vaksinasi. Dari sisi dosis, penanganan vaksin, cara aplikasi, hingga evaluasi pascavaksinasi,” urainya.
 
Atas dasar ini, penerapan vaksinasi di hatchery (hatchery vaccination) mulai marak digunakan. Mengingat kualitas, keandalan, dan efektivitas biaya dianggap lebih optimum dalam pengaplikasian vaksin.
 
Haris Setiadi, Head of Animal Health Technical Service Vaksindo Satwa Nusantara & Agrinusa Jaya Santosa mengungkapkan, vaksinasi di hatchery mulai diaplikasikan dalam industri unggas sebelum 2010. Vaksindo sudah mengembangkan pengaplikasian vaksinasi di hatchery sejak 2009.
 
Dengan vaksinasi di hatchery, peternak bisa menjadi lebih fokus dalam proses pemeliharaan baik secara manajemen maupun penerapan biosekuriti di kandang. Di samping itu, bobot badan pada minggu pertama secara umum tercapai bahkan melebihi standar yang ditentukan prinsipal.
 
“Peternak tidak lagi melakukan vaksinasi di lapangan seperti dulu, pada usia 4 atau 5 hari dengan cara meneteskan dan menyuntik DOC (day old chick-anak ayam umur sehari) satu per satu. Ini dapat menambah tingkat stres pada ayam, pengaruhnya kepada tingkat pertumbuhan atau pembentukan kekebalan,” urainya kepada AGRINA (30/9).
 
Haris menambahkan, jumlah DOC yang divaksinasi dalam sekali pullchick bisa bergantung pesanan dari peternak. Saat ini, terhitung lebih dari 90% DOC yang diproduksi sudah divaksinasi.
 
Di lain kesempatan, Ayatullah M.Natsir, Poultry Business Unit Manager Ceva Animal Health Indonesia menuturkan, vaksinasi di hatchery sudah dimulai sejak 2005. Teknologi dan konsep vaksin ini sudah diterima luas tidak hanya sekadar tren,baik di Indonesia maupun negara lain.
 
Sejak lima tahun lalu memperkenalkan teknologi ini di Tanah Air, Ceva telah melakukan vaksinasi di 138 hatchery dari 43 perusahaan pembibitan. Sebanyak 912 injector desvac double dan 198 desvac hatch spray telah dipasang.
 
 
Dampak Positif
 
Haris mengungkap, kurangnya jumlah vaksinator di farm menyebabkan aplikasi vaksin kelar dalam waktu lama. Dampaknya, potensi vaksin bisa menurun dalam membentuk kekebalan. Belum lagi ketika ayam yang divaksin telalu banyak, hasil vaksinasi tidak maksimal.
 
Vaksinasi di hatchery meminimalkan tingkat stres dan memberikan respon imun yang lebih baik. Secara umum bilapeternak sudah melakukan vaksinasi di hatchery tidak perlu mengulang di farm. Tetapi hal ini, imbuhnya, tidak mutlak karena beberapa peternak di area-area tertentu yang tantangan Iapangnya tinggi melakukan pengulangan terutama terhadap penyakit newcastle disease (ND) atau ND – infectious bronchitis (IB) pada minggu kedua.
 
Lebih jauh Haris menjelaskan, jenis vaksin yang diberikan di hatchery berbeda dari cara konvesional.Sebagai contoh, vaksin ND killed yang diberikan di hatchery sebanyak satu kali injeksi tetapi dengan dosispenuh. Sementara vaksin konvensional yang di lapangan diaplikasikan setengah dosis. Alasannya, ketika disuntikkan vaksin dosis penuh di lapangan mengakibatkan tingkat stres sangat tinggi. Beberapa vaksin yang umumnya diaplikasikan secara konvensional tidak bisa diaplikasikan di hatchery karena jenis vaksin yang digunakan pun berbeda.
 
“Kebersihan vaksinasi hatchery lebih terjaga, kondisi temperatur lebih dingin, diaplikasikan oleh operator yang terlatih dan jumlah vaksinator juga lebih banyak. Tentunya aplikasi vaksin diselesaikan lebih cepat, juga terdapat proses audit. Peternak mendapatkan hasil dan kualitas vaksinasi yang lebih optimal,” ulasnya.
 
Hal senada dilontarkan Ayat. Menurutnya, manajemen di farm bisa lebih diarahkan untuk mengoptimalkan potensi genetik ayam. Vaksinasi konvensional yang berkali-kali justru bisa menambah stres ayam. Optimalisasi manajemen brooding misalnya, menjadi lebih mudah dilakukan saat DOCsudah mendapatkan vaksin saat di hatchery dan tidak direpotkan lagi dengan jadwal vaksinasi. Akan tetapi, vaksinasi di hatcherytetap harus disokong manajemen kandang agar hasilnya prima.
 
Ayat mencontohkan, sebagai perlindungan unggas terhadap penyakit gumboro atau IBD, pemberian vaksin membutuhkan tingkat maternal antibodi yang tepat agar proses vaksinasi lebih optimal. Pemberian vaksin di kandang akan menghadapitantangan kondisi maternal antibodi yang bervariasi.
 
Lima belas tahun lalu, ulas Ayat, Ceva memperkenalkan antibodi spesifik yang dikenal sebagai virus protecting immunoglobulin. Antibodi yang nantinya bekerja tidak hanya melindungi vaksin virus yang berasal dari maternal antibodi, tetapi pemberian secara in-ovo juga dapat memproteksi embrio pula.
 
 
 
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 340 terbit Oktober 2022 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain