Sabtu, 4 Pebruari 2023

Lemahnya Daya Saing Agribisnis Indonesia

Lemahnya Daya Saing Agribisnis Indonesia

Foto: Istimewa
Bungaran Saragih - Sawit memiliki daya saing yang kuat

"Daya saing agribisnis Indonesia masih sangat lemah dibandingkan negara pesaing. Kelemahannya mulai dari penguasaan teknologi, integrasi infrastruktur, kualitas SDM, organisasi berbasis ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang kurang bersahabat pada agribisnis," ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
 
 
Mengapa daya saing agribisnis kita masih lemah?
 
Ada beberapa hal yang menyebabkan daya saing agribisnis kita relatif lemah dibandingkan negara pesaing. Pertama, teknologi kita masih ketinggalan dalam banyak hal.
 
Mulai dari teknologi pembibitan, budidaya, pemupukan, hingga pascapanen. Misalnya, mengolah padi menjadi tepung hingga produk akhir, mengolah kedelai menjadi tahu; tempe; tepung, mengolah jeruk menjadi tepung, dan lainnya. Apalagi jika bicara teknologi informasi (IT) dan smart farming, minim sekali digunakan.
 
Kedua, infrastruktur belum terintegrasi. Memang sepuluh tahun terakhir pemerintah sangat giat membangun infrastruktur jalan, jembatan, jalan bebas hambatan, pelabuhan laut dan udara. Namun, infrastruktur tersebut belum terkait langsung ke daerah produksi komoditas agribisnis di pedesaan. Akibatnya, biaya logistik relatif tinggi.
 
Ketiga, SDM (Sumber Daya Manusia) pelaku agribisnis.SDM petani kita butuhperan penyuluh pertanian untuk penetrasi teknologi baru. Sayangnya peran penyuluh semakin tak terlihat sejak diberlakukan UU Otonomi Daerah yang menjadikan mereka sebagai pegawai pemda dengan bajet seadanya. SDM penyuluh ini juga kadang latar belakangnya tidak sesuai sehingga tidak paham bidang pertanian.
 
Keempat, organisasi berbasis ekonomi. Pelaku agribisnis kita banyak petani gurem dengan  skala usaha kecil, terkotak-kotak, terpencar, dan tidak mampu berorganisasi. Dulu pernah dikembangkan Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai organisasi petani berbasis ekonomi. KUD ini dapat bekerja sama dengan up-stream agribusiness yang memproduksi sarana produksi pertanian sehingga petani memperoleh saprotan dengan harga rendah karena KUD membelinya dalam skala besar.
 
Kini kita sudah tidak melihat lagi kiprah KUD. Jadi, petani berskala kecil itu perlu dibina untuk mampu berorganisasi berbasis ekonomi yang bisa bekerja sama dengan agribisnis hulu, hilir, dan penyedia jasa penunjang agribisnis.
 
Terakhir, kebijakan pemerintah. Sering kali kebijakan pemerintah kurang bersahabat dengan sektor agribisnis. Sebagaimana kita ketahui bahwa agribisnis itu merupakan megasektor yang tidak mungkin diurus oleh hanya satu kementerian seperti Kementerian Pertanian.
 
Agribisnis harus dikelola oleh banyak kementerian dan lembaga mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan, Badan Pangan Nasional, BULOG, dan lainnya.
 
Tapi bukan tiap lembaga membuat kebijakan sesuai kepentingannya. Maka, dibutuhkan dirigen yang mampu mengharmonisasi peran kementerian dan lembaga untuk menghasilkan kebijakan yang integrasi, program, strategi, dan bajet untuk pembangunan agribisnis.
 
Akibat kelemahan daya saing itu membuat kita kewalahan mencegah impor produk agribisnis dalam jumlah besar seperti gandum, kedelai, daging sapi, gula, buah-buahan, dan lainnya.
 
 
Adakah komoditas agribisnis kita yang memiliki daya saing?
 
Ada beberapa komoditas, contohnya sawit. Dalam sistem dan usaha agribisnis berbasis sawit, kita menguasai teknologi, infrastruktur yang baik, SDM berkualitas, organisasi yang kuat antara petani dengan petani dan petani dengan pengusaha, serta kebijakan pemerintah yang bersahabat meski sekali waktu tidak bersahabat.
 
Karena itu, sawit memiliki daya saing yang sangat kuat daripada negara produsen lainnya bahkan dibandingkan komoditas minyak nabati lainnya seperti rapeseed, bunga matahari, jagung, dan kedelai.
 
Alhasil pertumbuhan area, produksi,dan ekspor yang sangat cepat,membuat kita jadi produsen dan eksportir minyak sawit juga minyak nabati terbesar dunia. Di dalam negeri selain dikonsumsi sebagai minyak goreng, juga mensubstitusi solar fosil ke biosolar. Sehingga, membuat Indonesia tidak hanya produsen dan eksportir sawit terbesar dunia tetapi juga konsumen terbesar dunia.
 
 
 
 
Windi Listianingsih, Brenda Andriana, Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain